16.07.2018

Melawan Arus - Bagian 3

Merancang, menuntut banyak kemampuan gagasan. Dalam mengajar kelas arsitektur bagi anak-anak, Ivana Lee berharap dapat membawa perubahan dalam cara berpikir murid-muridnya; supaya generasi selanjutnya juga berbagi mimpi yang sama tentang kota yang manusiawi.

Tahun 2007 Ivana melakukan kerja praktek di propinsi Aceh yang rusak berat karena tsunami di tahun 2004. Ia membantu merekonstruksi tempat-tempat tersebut seperti sebelum tsunami melanda. Di mana dulu warga lanjut usia tinggal, di mana ada pohon jeruk, di bawahnyalah warga saling bertemu pada sore hari. Ivana saat itu ikut merasakan keadaan warga desa yang kehilangan segalanya. "Kalau sudah harus menjadi takdir", katanya. Ivana Lee menemukan bahwa ada arsitek yang mendesain rumah-rumah tidak hanya untuk warga tetapi juga merancangnya bersama warga. Sebelum membangun kembali daerahnya, para arsitek berdiskusi dahulu; apa yang diinginkan warga di waktu mendatang.

Satu hal terkait masalah sosial yang ingin Ivana sampaikan kepada anak-anak: murid-muridnya di kursus arsitektur harus belajar tidak hanya tentang pemikiran-pemikiran yang berhubungan dengan ruang dan matematika, tetapi juga belajar menciptakan karya seni yang berguna untuk semua. Beberapa minggu sebelumnya Ivana meminta murid-muridnya untuk merancang satu stasiun. "Merancang" menuntut banyak kemampuan gagasan. Kebanyakan dari muridnya adalah anak-anak dari kalangan menengah yang tidak terbiasa bepergian dengan bus atau kereta api. Pelajaran diadakan di sebuah ruangan kecil: dekat dinding ada meja gambar panjang, di lantai berserakan bermacam-macam figur Lego untuk membangun rancangan, contohnya: stasiun.

Salah seorang murid bernama Sequoia, berumur sekitar 10 tahun, namanya terinspirasi dari nama pepohonan yang tumbuh di California, AS. Sang ayah yang bekerja di perusahan minyak pernah menonton sebuah film dokumentar tentang pohon mammut, sebuah pohon yang besar dan kuat. Ayahnya ingin Sequoia nantinya menjadi orang yang kuat dan berani. Anak itu menyiapkan sehelai kertas berwarna biru dan dengan pensilnya membuat sketsa jalur kereta api, loket penjualan tiket, peron dan lift, juga toilet. "Bagaimana dengan para penyandang disabilitas"?, tanya Ivana. Untuk mereka tidak tersedia toilet. Sequoia menggaruk kepalanya. "Berapa besar tempat yang diperlukan?", tanya Sequoia. Ia belum pernah bertemu dengan penyandang disabilitas. Ya, bagaimana juga bisa bertemu dengan mereka? Karena ketersediaan sarana bagi penyandang disabilitas terbatas, para penyandang disabilitas dan keluarga menghabiskan waktu luang di rumah saja. "Berapa besar ruangan yang diperlukan kalau menggunakan kursi roda?". Sequoia berpikir. Lalu ia menggeser kursinya di ruang belajar sampai ke kamar kecil yang letaknya di sebelah ruang kursus. Sesampainya di sana, ia berhenti. Kursi Sequoia tidak dapat melewati pintu. Kemudian ia mendorong kursinya kembali ke meja gambar dan menggambar satu toilet yang lebar untuk penyandang disabilitas di sketsa stasiun.

Banyak murid lainnya yang juga tidak memiliki bayangan ketika Ivana meminta mereka menggambarkan jalur bebas hambatan dalam sketsa mereka. Ada banyak tempat untuk kepentingan umum di Jakarta tetapi tidak ada jalur untuk pejalan kaki. Murid-murid tidak pernah belajar tentang hal itu. Begitu juga ketika Ivana ingin ada jalur hijau di sketsa mereka dan pepohonan, muridnya terkejut. Banyak muridnya hanya tahu bahwa alam hanya sebagai suatu tempat yang berbahaya, yang mengirim banjir dan penyakit. Ivana mengatakan, mungkin suatu hari nanti generasi merekalah yang akan membuat sungai-sungai di Jakarta menjadi kering. Bila mungkin, arsitek muda seperti Ivana ini sebenarnya mampu membawa perubahan dalam cara berpikir murid-muridnya, bahkan ketika mereka sendiri tidak dapat mengalahkan "raksasa" Jakarta. Jakarta dengan segala permasalahannya: kriminalitas, kepadatan lalu lintas, polusi udara, padatnya penduduk, dan masalah sampah. Bersama suaminya Ivana menciptakan utopianya.

Suatu saat pasangan ini ingin pindah ke Yogyakarta, ke pusat budaya di pulau Jawa. Di sana Budi mempunyai rumah terbuat dari kayu yang berasal dari Bali; dengan teras di mana penghuni bisa memandang langsung ke sungai.

Ivana ingin menanam pohon mangga dan kangkung dan hidup dari alam yang memberinya kehidupan. Mereka menginginkan anak-anak yang membuat gaduh di kebun dan mengetahui perbedaan pohon mangga dan pepaya. Tetapi Budi masih terikat dengan kehidupan di Jakarta. Dia membantu Dolorosa Sinaga, seorang pemahat terkenal bertaraf internasional.

Pada satu malam minggu Ivana menemani suaminya ke studio seorang seniman wanita berumur 64 tahun. Studionya berada tidak jauh dari rumah mereka, letaknya di belakang pintu gerbang yang terbuat dari kuningan. Begitu pintu dibuka, terlihat sebuah ruangan dengan seni modern. Di satu ruangan beratap terlihat patung-patung beragam bentuk dan ukuran disimpan berdesakan. Patung penari cantik dari tembaga, anak catur dari gips, dan hiasan gantung. Diantara barang-barang seni itu ada sebuah meja kayu. Di sanalah para pekerja seni merokok.

Studio seni adalah tempat pelarian bagi orang-orang yang tidak cocok dengan kehidupan di Jakarta; seniman, kaum intelektual, aktivis. Sementara para wanita berhijab bergegas di jalan raya di depan studio untuk melaksanakan sholat magrib, Budi mengambil gelas dan menuangkan minuman air kelapa beralkohol ke gelasnya.

"Mau?", tanyanya kepada istrinya, ketika dia menuangkan minuman kedua kalinya. Ivana menolak,. Dia tidak minum alkohol. Sekarang Ivana sudah mirip dengan suaminya dalam banyak hal. Dia mengenakan jins robek dan kaus bergambar Frida Kahlo. Budi menyelesaikan sebuah lukisan yang tergantung di rumahnya; seorang wanita dengan seekor burung di kepalanya. Mungkin lukisan itu menggambarkan Ivana yang sedang belajar terbang.***

Artikel ini diterjemahkan dari bahasa Jerman oleh Lita Priatna dan pertama kali diterbitkan oleh Majalah GEO Perspektive Nr. 01/2018 Was im Leben zählt (Apa yang Diperhitungkan dalam Hidup). Telah diadaptasi untuk format dan gaya penulisan. Publikasi selengkapnya bisa ditemukan di https://shop.geo.de/geo-perspektivenr-01-2018was-im-leben-zaehlt.html

Tulisan ini tidak mewakili pandangan FES Indonesia.

Friedrich-Ebert-Stiftung
Indonesia Office

Jl. Kemang Selatan II No. 2A
Jakarta Selatan 12730
Indonesia

+62 21 7193711
+62 21 71791358

info.indonesia(at)fes.de