13.08.2019

Kohesi Sosial dan Perlunya Perubahan Paradigma Global

Berbagi pengalaman mengikuti Young Global Changers 2019 di Berlin, Jerman berikut adalah refleksi atas renggangnya kohesivitas masyarakat yang kini banyak terjadi akibat polarisasi kekuatan global dan perubahan cara pandang manusia modern.

Bagaimana keteraturan (order) dipelihara dalam kondisi kontestasi lahan dan berbagai kesempatan yang kian sengit? Renggangnya kohesivitas masyarakat akibat perubahan kebudayaan telah terjadi ratusan tahun lalu dan saat ini kita menghadapinya lagi seiring dengan berubahnya polarisasi kekuatan-kekuatan global. Hal itu mengubah cara pandang kita terhadap alam dan kelangsungan spesies manusia itu sendiri. Debat itulah yang mengantar saya untuk mengikuti Global Solutions Summit (GSS) dan Young Global Changers (YGC) di Berlin pada 16 - 20 Maret 2019 dengan difasilitasi oleh Frederich Ebert Stiftung (FES) Indonesia.

Tema ini tak jauh dari penelitian saya di Kampung Bustaman, Semarang dengan luas yang tidak lebih dari 0,5 hektar dan dihuni sebanyak 130-an jiwa berdasar sensus tahun 2015. Menariknya tiap tahun penduduknya mengalami kenaikan jumlah karena angka kelahiran maupun para pendatang (karena pekerjaan maupun perkawinan) yang ditarik ke dalam dan menetap di kampung. Beberapa warga yang telah pindah pun di masa tua memutuskan untuk kembali. Singkatnya Kampung Bustaman telah menjadi magnet sendiri bagi warga dengan segala kekurangan dan kelebihannya; paralel dengan Eropa yang dalam beberapa tahun terakhir ini menjadi magnet yang kuat bagi para pendatang dari Timur Tengah dan kawasan konflik lainnya.

Trend ini sejalan dengan meningkatnya minat urbanisasi di berbagai belahan dunia karena janji keterjaminan pemenuhan kebutuhan ekonomi dan adanya berbagai kesempatan di kota itu sendiri. Pertambahan populasi dan migrasi ini membuat daya lingkungan terancam dan juga memaksa populasi yang tinggal di dalamnya beradaptasi dan menegosiasikan nilai-nilai baru. Isu ini juga telah lama menjadi perhatian China yang melakukan kontrol populasi secara ketat. Namun, bagaimanakah hal itu bisa diorganisir? Tegangan apa yang muncul dan bagaimana cara-cara meminimalisir konflik?

Berkaca pada kasus Kampung Bustaman, sesungguhnya masyarakat itu selalu terfragmentasi sekaligus mempunyai daya rekat yang bisa melonggar, mengetat dan tak jarang relasi ini menimbulkan konflik. Sebagai kampung yang mayoritas etnis Jawa dan beragama Islam tentu basis nilainya hampir sama. Namun bukan berarti kesamaan ini bersifat stagnan, tak jarang karena konflik kepentingan misalnya perebutan suara perolehan pemilu, kecemburuan sosial akibat kesenjangan ekonomi juga mengemuka dan tentu saja kontestasi lahan yang sempit sementara manusia berkembang biak muncul laten. Tegangan-tegangan itu bisa diminimalisir dan dikelola misalnya karena hubungan kekerabatan. Saya membayangkan jika konsep kekerabatan dalam masyarakat yang kompleks tidak hanya berlangsung melalui perkawinan tetapi kesamaan visi mengenai masa depan manusia tentu akan lebih mudah mencapai tujuan bersama meski itu tidak pernah mudah. Terlebih penting adalah peranan para aktor yang aktif di dalam masyarakat. Hal ini berlaku tidak hanya di Bustaman maupun di tingkat makro sebagai pengingat bahwa kesamaan maupun perbedaan itu bisa jadi berkah sekaligus bencana tergantung bagaimana narasi ini digunakan.

Studi-studi antropologi dalam beberapa tahun belakangan berfokus pada peranan aktor selain manusia (non-human). Misalnya, keberadaan Kampung Bustaman sebagai sentra perdagangan kambing di Semarang yang dagingnya didistribusikan di seluruh kota dan jejaringnya mencakup kabupaten kota di sekitarnya. Kambing dalam hal ini menjadi lem sosial masyarakat untuk memproduksi dan mereproduksi ikatan-ikatan sosial yang bertahun-tahun ada. Demikian juga dalam konteks global, banyak narasi yang bisa digunakan untuk menjadi perekat sosial namun sekali lagi peranan aktor menjadi sangat signifikan. Dalam studi-studi antropocene, sekarang banyak dihitung bagaimana aktor non-human dalam kehidupan manusia, misalnya akibat kebocoran nuklir dan aktivitas pertambangan telah mengubah struktur geologi bumi kita. Pekerjaan rumahnya kemudian adalah bagaimana memaksimalkan narasi ini dan menjadi landasan kebijakan lebih baik ke depan.

Inti dari Global Solutions Summit dan Young Global Changers tahun ini adalah perlunya mengubah persepsi pada dunia. Di hadapan semua inisiatif global yang ada kadang saya merasa kecil. Apa yang bisa kita sumbangkan untuk dunia di tengah kontestasi kekuatan-kekuatan global? Menghadapi polarisasi kekuatan global yang memaksa kita berkompetisi dan saling mendominasi tentu kita perlu sebuah narasi baru. Perubahan iklim pada satu kasus membuka mata kita bahwa ini adalah persoalan kita bersama. Sudut pandang antropomorfisme yang memusatkan manusia sebagai pewaris sah dunia telah dikritik sejak lama berbarengan dengan kritik terhadap modernisme yang menempatkan rasionalitas manusia di atas segalanya. Dengan seluruh karut marut ini di manakah posisi kita sebagai individu?

Memang benar perubahan tidak bisa dilakukan sendiri tetapi saya percaya kekuatan individu bisa menjadi pemantiknya. Greta Thunberg atau pedagang sayur Tunisia membuat agensi perorangan bisa memicu perubahan yang lain. Selain itu memang benar bahwa peranan komunitas menjadi penting; tetapi komunitas yang seperti apa? Nilai yang berusaha ditanamkan melalui Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) adalah salah satu yang perlu ada dalam komunitas dan dapat disesuaikan dalam konteks lokal. Namun saya rasa spirit kelestarian hidup bersama bisa menjadi nilai utama untuk mereduksi berbagai tantangan global yang hari ini kita hadapi; yang dampaknya dirasakan di ranah paling privat sekalipun.

Perjalanan singkat di Berlin dan bertemu hampir 90 perwakilan dari berbagai negara ini menyadarkan saya bahwa apa yang terjadi di kampung mempunyai resonansinya di kancah global. Berbagai disrupsi, menguatnya politik identitas, perubahan polariasi global, dan berbagai isu lain hari ini muncul dalam waktu yang hampir bersamaan. Pada kasus Kampung Bustaman, menguatnya politik identitas juga dipicu merasa terancamnya mereka oleh pembangunan yang massif dan menempatkan warga sebagai objek semata. Perasaan terpinggir ini kadang menimbulkan sentimen perlawanan dan solidaritas dengan mengadopsi simbol-simbol yang paling primordial. Persoalan demi persoalan ini tentu tak jarang membuat kita frustasi sebagai individu. Namun demi melihat wajah-wajah muda dari berbagai dunia yang dengan antusias membicarakan hal ini membuat saya semakin bersemangat bahwa ada yang masih bisa kita lakukan meski kecil dan semoga bisa memberi inspirasi atau bergulir menjadi bola salju.

*Penulis sehari-hari mengajar Antropologi di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro dan CoInitiator Kolektif Hysteria Semarang. Tulisan ini telah melalui proses adaptasi dan pandangan yang disampaikan tidak mencerminkan pendapat FES.

Friedrich-Ebert-Stiftung
Indonesia Office

Jl. Kemang Selatan II No. 2A
Jakarta Selatan 12730
Indonesia

+62 21 7193711
+62 21 71791358

info(at)fes.or.id
indonesia.fes.de