05.07.2018

Menghubungkan Agenda Perkotaan dan Pekerjaan Global: Menuju Kerangka Kebijakan untuk Urbanisasi yang Produktif-Kerja

Urbanisasi yang gagal menghasilkan peluang kerja yang adil hanya akan memiliki konsekuensi dengan jangkauan yang luas.

Photo by Sasha Nazira on Unsplash

Kota dilihat sebagai mercusuar kemakmuran di seluruh dunia. Ironisnya, di tahun yang sama ketika ekonomi global tenggelam ke dalam resesi yang dalam, manusia pada umumnya mayoritas berada di wilayah urban. Pada 2008, lebih dari 50 persen (tautan) populasi dunia tinggal di kota. Tren ini jauh dari puncaknya: Tingkat global urbanisasi sekarang berada pada 54 persen (tautan) dan akan mencapai 66 persen pada tahun 2050 (tautan).

Sebagian besar pengalaman sejarah menunjukkan bahwa urbanisasi dan peluang berjalan beriringan (tautan). Kita cenderung berasumsi bahwa urbanisasi berarti industrialisasi, formalisasi, dan pekerjaan yang lebih baik - seiring dengan peningkatan dalam penyediaan layanan dan akses ke fasilitas seperti pendidikan dan jaminan kesehatan.

"Dalam beberapa konteks, perluasan sektor sumber daya alam menciptakan 'kota konsumsi', di mana pekerjaan sebagian besar terkonsentrasi pada layanan informal dengan produktivitas rendah."

 

Urbanisasi dapat memungkinkan hal-hal ini. Tetapi apa yang kita saksikan hari ini adalah berbagai pengalaman urban yang beragam. Sebagian orang berakhir di kota-kota akibat banjir dan kekeringan sebagai dampak perubahan iklim yang menyingkirkan mereka dari pertanian mereka. Pada kasus lain, pertumbuhan penduduk mengubah daerah yang sebelumnya pedesaan menjadi daerah "rurban" yang luas. Dalam beberapa konteks, perluasan sektor sumber daya alam menciptakan "kota konsumsi," di mana lapangan kerja sebagian besar terkonsentrasi pada layanan informal dengan produktivitas rendah (tautan Paywall). Di semua kasus ini, hubungan antara urbanisasi dan peluang ekonomi sangat lemah.

Kemajuan perekonomian saat ini juga pada awalnya berjuang untuk memanfaatkan potensi produktif kota sekaligus meningkatkan kesejahteraan pekerja - dengan karya Upton Sinclair bertajuk The Jungle yang memberikan orang Amerika di abad ke-19 gambaran mengerikan tentang pasar tenaga kerja perkotaan di peternakan-peternakan di Chicago. Namun, dengan industrialisasi sebagai penggerak utama ekonomi urbanisasi, global North melihat penciptaan lapangan kerja berskala besar yang tidak hanya produktif tetapi juga lebih kondusif untuk daya tawar dan regulasi kolektif.

"Para pekerja di kota-kota Asia Selatan dan Sub-Sahara kebanyakan berakhir pada pekerjaan berkualitas rendah - pekerjaan sektor jasa informal dan berupah rendah. Pekerja lepas dan pengangguran terselubung tersebar luas."

 

Di kota-kota yang berkembang pesat saat ini, latar belakang ekonomi yang mendasarinya beragam. Meskipun ada kantong pertumbuhan yang dipicu sektor manufaktur di Asia Timur dan Tenggara, sebagian besar negara berkembang mengalami urbanisasi tanpa industrialisasi berskala besar.

Misalnya, meskipun pemerintah India meluncurkan kampanye "Make in India", booming manufaktur belum terjadi - dan sepertinya tidak terjadi - di India. Kontribusi manufaktur untuk ekonomi India sebenarnya telah merangsek ke bawah, jatuh ke 16,5 persen pada tahun 2016. Sub-Sahara Afrika mengalami tren yang sama, bahkan ketika kota-kotanya telah membesar. Para pekerja di kota-kota Asia Selatan dan Sub-Sahara sebagian besar berakhir pada pekerjaan berkualitas rendah seperti di sektor jasa informal dan upah rendah. Pekerja lepas dan pengangguran terselubung tersebar luas.

Saat ini bukan hanya pekerja perkotaan di global South yang mendapatkan upah lebih sedikit daripada yang mungkin mereka dapat di pabrik, banyak di antara mereka bekerja di tempat yang tidak memungkinkan mereka untuk berorganisasi, membangun gerakan buruh yang sukses, atau bernegosiasi untuk mendapatkan upah yang lebih tinggi dan kondisi kerja yang lebih baik. Di dunia industri, penciptaan gerakan buruh yang kuat bertepatan dengan penyatuan demokrasi yang stabil, sukses, dan relatif egaliter.

Dengan kata lain, taruhannya tinggi. Urbanisasi yang gagal menghasilkan peluang kerja yang adil (tautan).

"Dengan planet yang akan mengalami pertambahan 2,5 miliar penduduk kota pada tahun 2050, para pembuat kebijakan perkotaan harus berada di garis terdepan dalam upaya kami untuk menciptakan pekerjaan yang lebih banyak dan lebih baik."

 

Kini saatnya untuk menghubungkan wacana kebijakan seputar kota dengan pekerjaan. Dialog urban global terutama berfokus pada infrastruktur dan penyediaan layanan: air dan sanitasi, perumahan, dan transportasi. Sementara itu, diskursus tentang pertumbuhan inklusif dan penciptaan lapangan kerja sebagian besar melibatkan pemerintah nasional, regional dan lembaga multilateral - meminggirkan aktor pemerintah lokal dan kota. Padahal, dengan planet yang akan mengalami pertambahan 2,5 miliar penduduk kota pada tahun 2050 (tautan), para pembuat kebijakan perkotaan harus berada di garis terdepan dalam upaya kami untuk menciptakan pekerjaan yang lebih banyak dan lebih baik.

Agenda kebijakan untuk urbanisasi yang produktif-kerja (job-rich) harus melaksanakan berbagai tugas.

Pertama, berupaya mengintegrasikan pembuatan kebijakan tentang perencanaan dan manajemen perkotaan dengan kebijakan pasar tenaga kerja. Pemerintah kota membuat segala macam keputusan yang berdampak pada pekerjaan - dari peraturan seputar pedagang kaki lima hingga investasi transportasi umum - tetapi jarang sekali memperhitungkan dampak kebijakan perkotaan terhadap pasar tenaga kerja.

Kedua, agenda kebijakan yang ditujukan untuk mendukung urbanisasi yang produktif-kerja harus berupaya meningkatkan kesejahteraan pekerja dalam cepatnya perluasan kota-kota di global South - dengan fokus khusus pada pekerja yang memiliki kapasitas minim untuk mengorganisir diri.

Dan ketiga, kerangka kerja kebijakan ini harus bersifat inklusif atas kebutuhan dan kekhasan kota dari segala ukuran dan karakteristik. Terlepas dari penekanan di lingkar akademik dan kebijakan terhadap kota besar, sekitar setengah dari 3,9 miliar penduduk perkotaan tinggal di pemukiman yang relatif kecil dengan kurang dari 500.000 penduduk (tautan). Hunian ini juga merupakan kota-kota yang mengalami pertumbuhan tercepat.

Dengan cepatnya negara-negara di global South mengarah ke masa depan perkotaan yang tidak pasti, sulit untuk menekankan urgensi dari agenda kebijakan perkotaan yang produktif-kerja. Kini waktunya bagi para pejabat pemerintah, pebisnis, akademisi, dan kelompok masyarakat sipil yang peduli pada kuantitas dan kualitas kerja untuk menaruh perhatian pada kota, serta bagi para pegiat perkotaan untuk menajamkan fokus mereka pada pekerjaan dan peluangnya. ###

Gregory Randolph adalah Wakil Presiden dari JustJobs Network, Lembaga riset kebijakan yang bekerja untuk mengatasi salah satu tantangan terbesar masa kini: bagaimana menciptakan pekerjaan yang lebih banyak dan lebih baik. Kantor FES untuk Kerjasama Regional di Asia dan FES Washington merupakan anggota dari JustJobs Network.

Diterjemahkan dari Bahasa Inggris dan diterbitkan pertama kali pada 7 Maret 2018 di situs Kantor FES untuk Kerjasama Regional di Asia (<link e linking-the-global-urban-and-jobs-agendas-toward-a-policy-framework-for-job-rich-urbanization fes_asia external-link>tautan).

Friedrich-Ebert-Stiftung
Indonesia Office

Jl. Kemang Selatan II No. 2A
Jakarta Selatan 12730
Indonesia

+62 21 7193711
+62 21 71791358

info.indonesia(at)fes.de
indonesia.fes.de